A. Pendahuluan
Pengkajian
dan pembahasan tentang filsafat manajemen, menjadi bagian yang integral dengan
sejarah perkembangan filsafat. Filsafat mempunyai sumbangan yang sangat besar
terhadap segala perkembangan ilmu pengetahuan. Mengawali pembahasan tentang filsafat, penulis ingin
menyampaikan apa yang telah dikemukakan oleh Descartes tentang filsafat, bahwa;
Hanya filsafat yang membedakan kita dengan orang-orang primitif dan Barbar.
Kebudayaan dan peradaban suatu bangsa diukur dengan ukuran tersebarnya filsafat
yang benar di kalangan mereka. Karenanya, nikmat Tuhan yang paling besar bagi
suatu bangsa adalah ketika Tuhan memberikan mereka para filsuf yang sejati (Andreas Putra, 2015: 1).
Pada
fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam
(Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini
terdapat kurang dari ribuan cabang keilmuan yang tersebar dalam bidangnya. Pada
abad ke 18 dengan bermunculannya negara-negara maju dibelahan dunia, muncul
cabang ilmu pengetahuan baru seperti ekonomi, akuntansi, psikologi termasuk
didalamnya manajemen. Pada masa Taylor dan Fuyol, seiring dengan tumbuhnya
negara-negara industri ilmu manajemen itu mulai dianggap sebagai ilmu.
Di
dalam ilmu manajemen dikenal tiga aliran pemikiran manajemen yang masing-masing
berusaha membantu manajer untuk memahami dan memimpin organisasi, serta
mengatasi masalah-masalahnya.Tiga aliran pemikiran manajemen tersebut
adalah aliran klasik (aliran ini
mempunyai dua cabang yaitu manajemen ilmiah dan teori organisasi klasik),
aliran hubungan manusiawi (sering disebut aliran perilaku atau aliran
neoklasik), dan aliran ilmu manajemen.
Dalam hubungannya dengan pendidikan,
pendidikan di Indonesia saat ini sudah semakin berkembang, hal tersebut
tentunya dibutuhkan pengelolaan atau manajemen yang baik sehingga kualitas
pendidikan dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan kembali. Pengelolaan yang
dimaksudkan melalui sebuah perencanaan yang baik, melakukan
sesuatu sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
tumpang-tindih penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan tersebut
lebih dikenal dengan istilah manajemen pendidikan, dalam pelaksanaan manajemen
pendidikan sudah mencakup segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan
pendidikan itu sendiri karena dalam manajemen terdapat beberapa fungsi utama
yaitu fungsi perencanaan (planing),
pengorganisasian (organizing),
aktualisasi atau implementasi (actuating),
dan fungsi pengawasan serta evaluasi (evaluating).
(Lazaruth: 1984).
Pendidikan yang baik akan tercipta
jika perencanaan dilakukan dengan cara yang baik dan optimal, karena sebuah
proses akan berjalan dengan sempurna atau setidaknya meminimalisir kesalahan
jika perencanaan yang dibuat sudah memberikan gambaran yang jelas tentang
sesuatu yang akan terjadi. Aspek lainnya yaitu pengorganisasian dimaksudkan
bahwa hal-hal yang telah direncanakan dengan baik akan diklasifikasikan sesuai
dengan tugas pokok dan fungs masing-masing sehingga pelaksanaan tugas akan
sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh setiap orang. Hal ini bertujuan
untuk memenuhi “the right man in the
right place”. Jika kedua hal utama tersebut telah dilakukan kemudian fungsi
manajemen ketiga akan berperan yaitu implementasi dari perencanaan yang telah
disusun. Setiap implementasi program harus selalu dimonitor atau diawasi
sehingga pada tahap evaluasi dapat memberikan gambaran yang nyata terhadap segala
sesuatu mengenai objek pendidikan.
Secara
umum, manajemen pendidikan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mempersiapkan proses pendidikan yang lebih baik, sehingga hasil yang diperoleh
pun menjadi lebih optimal. Meskipun ilmu manajemen awalnya bukan berasal dari
pendidikan namun berkembang sehingga tercipta sebuah manajemen pendidikan yang
khusus mengelola tentang pendidikan secara umum dan utuh.
Berdasarkan deskripsi tersebut sudah
sepatutnya manajemen pendidikan dilihat atau ditinjau dari perspektif filosofi
sehingga dapat diketahui awal dari perkembangan manajemen pendidikan itu
sendiri. Akhirnya dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan
penjelasan yang nyata mengenai pandangan filsafat terhadap manajemen pendidikan
yang sedang berkembang di indonesia khususnya. Adapun
fokus bahasan dalam tulisan ini adalah manajemen pendidikan dalam prespektif
filosofis dan historis, manajemen pendidikan di Indonesia, landasan ontologi,
epistemologi dan aksiologi manajemen pendidikan.
B. Manajemen
Pendidikan dalam Pendekatan filosofis dan Historis
Manajemen sebenarnya sudah ada sejak
manusia ada. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan arsitek Mesir Kuno
mewujudkan karyanya berupa piramid Cheops. Pembangunan piramid yang
melibatkan ratusan ribu tenaga kerja tidak akan terwujud tanpa adanya manajemen
yang baik. Hanya saja istilah manajemen baru muncul pada tahun 1886. Di
Indonesia, manajemen sudah dipraktikkan pada masa pra sejarah. Adanya Candi
Borobudur pada abad ke-8 dan Candi Prambanan pada abad ke-9 merupakan bukti
bahwa manajemen sudah lama dipraktikkan di Indonesia. Meskipun dari uraian awal dipaparkan tentang
manajemen yakni tahun 1800-1900-an yang menyadari pentingnya faktor manusia
bagi keberhasilan organisasi, ada empat orang yang menonjol sebagai pendukung
awal (Stephen: 2003). Mereka itu adalah Robert Owen, Hugo Musterberg, Mary Parker Foller, dan
Chester Bernard. Mereka berasumsi sama
bahwa manusia atau orang merupakan aset organisasi yang paling penting harus dikelola
secara tepat. Ide-ide mereka menjadi landasan praktek manajemn seperti prosedur
seleksi karyawan, program motivasi karyawan, time kerja karyawan dan teknik
manajemen lingkunan eksternal. Pertumbuhan manajemen meliputi tiga
fase yaitu Fase pra sejarah, yang berakhir pada tahun 1 M, Fase sejarah, yang
berakhir pada tahun 1886, dan Fase modern, mulai 1886 sampai sekarang. Dari
pendekatan filosofis dan historis tersebut melahirgan berbagai aliran pikir,
konsep dan teori manajemen:
1.
Teori
Manajemen Klasik
Taylor adalah orang pertama yang
mengembangkan manajemen ilmiah. Taylor terkenal sebagai Bapak Manajemen Ilmiah
karena hasil penelitiannya yang telah dibukukan tentang usaha-usaha untuk
meningkatkan produktivitas kerja berdasarkan waktu dan gerak pada tahun 1886,
dijadikan sebagai pegangan penting bagi para buruh dan manajer. Dalam
penelitiannya itu, ia berpendapat bahwa efesiensi perusahaan rendah karena
banyak waktu dan gerak-gerak buruh yang tidak produktif.
Selain itu, taylor telah memberikan
prinsip-prinsip dasar penerapan pendekatan ilmiah dalam manajemen dan
mengembangkan teknik-teknik untuk mencapai efisiensi dan keefektifan
organisasi. Ia berasumsi bahwa manusia harus diperlakukan seperti mesin. Dalam
bekerja, setiap manusia harus diawasi oleh supervisor secara efektif dan
efisien.
Kritik yang sangat keras dari para ahli perilaku yang
mengecam penganut Taylor menyatakan bahwa Taylor dan penganutnya telah
memperlakukan para pekerja secara tidak manusiawi. Untuk mengatasi kelemahan
pendekatan manajemen klasik, muncul pemikiran para ahli berikutnya dengan
pendekatan baru yang disebut teori organisasi klasik.
2.
Teori
Organisasi Klasik
Teori organisasi klasik disebut juga
teori administratif. Salah seorang tokohnya adalah Fayol (1841-1925). Fayol
terkenal sebagai Bapak Teori Ilmiah. Dalam bukunya yang terkenal dengan judul Administration
Industrielle et Generale, Fayol mengemukakan teori dan teknik administratif
untuk mengelola organisasi yang kompleks. Sebagai manejer utama di pabrik
tambang dan metalurgi yang sangat terkenal di Eropa, Fayol yakin bahwa
kesuksesannya merupakan keterampilan mengembangkan pengalaman dan introspeksi. Selain
itu, Fayol juga mengetengahkan empat belas prinsip administrasi yang sangat
terkenal dan fungsi manajemen, yaitu Planning, Commanding, Coordinating and
Controlling. Ahli lain dalam teori ini adalah Gulick, Urwick, Sheldon,
Mooney dan Max Weber. Max weber merupakan seorang peletak dasar sosiologi di
Jerman, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Birokrasi. Dia ikut serta
mempengaruhi perkembangan teori administrasi. Birokrasi menurut Weber merupakan
ciri dan pola organisasi yang strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga mampu
memanfaatkan tenaga ahli secara maksimal. Adapun kritik terhadap pendekatan
teori organisasi klasik, antara lain:
a) Merangsang berfikir yang
mengutamakan konformitas dan formalitas
b) Merupakan rutinitas yang membosankan
c) Ide-ide inovatif tidak sampai kepada
pengambil keputusan karena panjangnya jalur komunikasi
d) Tidak memperhitungkan organisasi
nonformal yang seringkali berpengaruh terhadap organisasi formal
e) Dijalankan secara berlebihan
f) Terlalu banyak aturan yang
berbelit-belit
g) Kecenderungan menjadi orwelian
yaitu keinginan birokrasi mencampuri (turut melaksanakan, bukan mengendalikan
urusan.
Namun demikian, jika membahas tentang manajemen pendidikan, maka manajemen
pendidikan merupakan suatu cabang ilmu yang usianya relatif masih muda. Istilah
lama yang sering digunakan adalah administrasi.
C. Landasan
Ontologi Manajemen Pendidikan
Pada zaman Yunani kuno, ilmu
dengan filsafat sukar dipisahkan. Pembuktian empirik kurang mendapat perhatian
dan metode ilmiah tampaknya belum berkembang. Filsafat merupkan Mother of science (induk semua ilmu
pengetahuan), sedangkan Ontologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang
berasal dari kata Yunani yang tersusun dari kata philein dalam arti cinta dan sophos
dalam arti hikmat (wisdom). Dalam Pembahasan ini akan dikemukakan
beberapa hal tentang Ontologi yang merupakan bagian dari metafisika yang
mempersoalkan hal-hal yang berkenaan dengan segalah sesuatu yang ada atau the existence khususnya esistensinya.
Menurut Aristoteles, Ontologi merupakan The
First philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Karena Ontologi
mempersoalkan hanya tentang benda, tidak Tuhan yang mempersoalkan tentang Tuhan
adalah teologi demikian menurut salah satu pendapat.
Jawaban tentang persoalan
Ontologi setidaknya ada empat sehingga menimbulkan empat aliran yaitu aliran
Dualisme (berpendapat bahwa subtansi realitas itu ada dua). Aliran Monoisme
(berpendapat bahwa subtansi dasar realitas itu hanya satu), dan yang satu itu
meteri, aliran yang berpendapat demikian bernama materialisme, kalau satu
justru idea maka aliran yang berpendapat demiakan adalah aliran idealisme
(kenyataan yang bersifat rohani), dan Naturalisme (pandangan tentang alam
semesta (Andreas Putra, 2015).
Dalam pendidikan, manajemen itu dapat diartikan sebagai aktivitas
memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Dipilih manajemen sebagai
aktivitas, bukan sebagai individu, agar konsisten dengan istilah administrasi
dengan administrator sebagai pelaksananya dan supervisi dengan supervisor
sebagai pelaksananya. Kepala sekolah misalnya bisa berperan sebagai
administrator dalam mengemban misi atasan, sebagai manajer dalam memadukan
sumber-sumber pendidikan, dan sebagai supervisor dalam membina guru-guru pada
proses belajar mengajar (Pidarta: 1988).
Konsep
dasar dari manajemen pendidikan ialah terdapat definisi mengenai manajemen dan
tentang pendidikan, jadi sebelum membahas mengenai manajemen pendidikan,
sebaiknya dibahas terlebih dahulu mengenai manajemen. Manajemen berasal dari kata “manus” yang berarti “tangan”, berarti menangani sesuatu, mengatur,
membuat sesuatu menjadi seperti yang diinginkan dengan mendayagunakan seluruh
sumber daya yang ada. Secara teoritis, setiap ahli memberikan pandangan yang
berbeda tentang batasan manajemen, karena itu tidak mudah memberi arti
universal yang dapat diterima semua orang. Namun demikian, dari pemikiran-pemikiran ahli tentang defenisi
manajemen kebanyakan menyatakan bahwa manajemen merupakan suatu proses
mendayagunakan orang dan sumber lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara
efektif dan efisien. Manajememen berasal dari bahasa Prancis kuoaménagement,
yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Menurut Mary Parker Follet,
manajemen adalah seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini
berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain
untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Henry Fayol, Manajemen adalah prevoir, organizer
commander, coordiner, controller. Menurut Georgy R Terry, manajemen adalah cara
pencapaian tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu dengan melalui kegiatan
orang lain. Sedangkan menurut Oey Liang
Lee, manajemen adalah Sebuah koordinasi semua sumber daya melalui proses
perencanaan, pengorganisasian, penetapan tenaga kerja, pengarahan, dan
pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Sementara, Malayu S.P. Hasibuan (1995) dalam bukunya “Manajemen Sumber Daya
Manusia” mengemukakan bahwa manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangan dinamis aplikasi
manajemen berangkat dari keragaman definisi tentang manajemen. Semula,
manajemen yang berasal dari bahasa
Inggris: management dengan kata kerja to manage, diartikan secara
umum sebagai mengurusi atau kemampuan menjalankan dan mengontrol suatu urusan
atau “act of running and controlling a business” (Oxford, 2005).
Selanjutnya definisi manajemen berkembang lebih lengkap. Stoner (1986)
mengartikan manajemen sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin,
dan mengawasi usaha-usaha dari anggota organisasi dan dari sumber-sumber
organisasi lainnya untuk mencapai organisasi yang telah ditetapkan. G.R. Terry
(1986)–sebagaimana dikutip Malayu S.P Hasibuan (1996)- memandang manajemen
sebagai suatu proses, sebagai berikut: “Management is a distinct process
consisting of planning, organizing, actuating and controlling performed to
determine and accomplish stated objectives by the use of human being and other
resources”. Manajemen kemudian diartikan sebagai suatu rentetan langkah
yang terpadu untuk mengembangkan suatu organisasi sebagai suatu system yang
bersifat sosio-ekonomi-teknis; dimana system adalah suatu kesatuan dinamis yang
terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan secara organik; dinamis berarti
bergerak, berkembang ke arah suatu tujuan; sosio (social) berarti yang bergerak
di dalam dan yang menggerakkan sistem itu adalah manusia; ekonomi berarti kegiatan
dalam sistem bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia; dan teknis berarti
dalam kegiatan dipakai harta, alat-alat dan cara-cara tertentu (Kadarman,
1991). Engkoswara (2001:2).
Manajemen pendidikan ialah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber
daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana
menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta di dalam mencapai
tujuan yang disepakati bersama. Sagala (2005:27) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan adalah penerapan ilmu manajemen dalam dunia pendidikan atau sebagai penerapan
manajemen dalam pembinaan, pengembangan,, dan pengendalian usaha dan praktek-praktek
pendidikan. Manajemen
pendidikan adalah aplikasi prinsip, konsep, dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Sedangkan Tilaar (2006:4) manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan yang
mengimplementasikan perencanaan atau rencana pendidikan.
Berdasarkan penjelasan di atas
secara ontologi dapat dijelaskan, Manajemen adalah ilmu dan seni tentang
upaya untuk memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki melalui orang lain
untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien tertentu serta dilaksanakan
secara berurutan berjalan ke arah tujuan tersebut.
Sementara itu Manajemen pendidikan
secara sederhana didefinisikan sebagai suatu cara pengelolaan sumberdaya
pendidikan meliputi segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan.
Pengelolaan bertujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan serta pencapaian
pendidikan itu sendiri. Akan tetapi, terdapat beberapa definisi yang diberikan
oleh ahli mengenai manajemen pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut. Manajemen pendidikan adalah segala usaha bersama
mulai dari perencanaan, pengorganisassian, pelaksanaan, dan pengevaluasian
dalam hal mendayagunakan semua sumber daya yang ada secara efektif dan efisien
guna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan yaitu tujuan pendidikan. Jadi, manajemen
pendidikan adalah proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan
yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pelaporan,
pengkoordinasian, pengawasan,
dan pembiayaan dengan menggunakan atau memanfaatkan fasilitas yang tersedia,
baik personil, materiil, maupun spiritual untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien.”
Manajemen pendidikan seperti yang
telah diuraikan pada halaman sebelumnya erat kaitannya dengan filsafat, karena
filsafat merupakan awal dari setiap ilmu pengetahuan yang saat ini berkembang.
Contoh beberapa masalah pendidikan
yang memerlukan analisis filsafat dalam memahami dan memecahkan, antara lain :
- apakah
hakikat pendidikan itu dan siapakah hakekatnya yang bertanggung jawab atas
pendidikan itu, dan dimana tanggung jawab tersebut (kajian ontologisnya)
- Bagaimana
manajemen pendidikan yang efektif, atau Bagaimana hubungan tanggung jawab
antara keluarga, masyarakat dan sekolah terhadap pendidikan dan bagai mana
tanggung jawab pendidikan tersebut setelah manusia dewasa dan sebagainya
(Kajian epistemologisnya)
- Apa
kegunaan, nilai, atau fungsi manajemen pendidikan (kajian aksiologisnya)
Untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut maka timbullah beberapa teori manajemen
pendidikan, diantaranya:
- Teori
klasik, Asumsi teori klasik : bahwa para pekerja atau manusia itu sifatnya
rasional, berfikir logis, dan kerja merupakan suatu yang di harapkan.
- Teori
neo-klasik, Teori ini timbul sebagian karena terdapat kelemahan dengan
teori klasik. Asumsi teori Neo-klasik: Manusia itu adalah mahluk dengan
mengaktualisasikan dirinya.
- Teori modern, Pendekatan modern berdasarkan hal yang sifatnya situasional. Artinya orang menyesuaikan diri dengan situasi dihadapi dan mengambil keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan. Asumsi teori modern: manusia itu berlainan dan berubah, baik kebutuhannya, reaksinya, tindakannya yang semua bergantung pada lingkungan. Selanjutnya manusia itu bekerja dalam suatu sistem untuk mencapai tujuan tertentu.
D. Landasan
Epistemologi Manajemen Pendidikan
Epistemologi secara umum bisa
diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana
cara memperoleh pengetahuan atau membahas tentang sumber pengetahuan( Harun
Nasution,1985:7). Istilah epistemologi menurut Hartono Hadi sering kali disebut
sebagai filsafat pengetahuan atau teori tentang pengetahuan( Hardono Hadi :
1994). Dari pengertian ini, maka berbicara tentang epistemologi, berarti
berbicara tentang bagaimana cara menyusun ilmu pengetahuan yang benar. Kemudian
selanjutnya berdasarkan teori itulah metodologi dirumuskan, dan pada akhirnya
berdasarkan metodologi itulah ilmu dipraktekkan.
Epistemologi manajemen pendidikan
pada umumnya yang mengkaji sumber, metode, objek dancara mendapatkan
pengetahuan. Manajemen Pendidikan juga mengkaji tentang objek pengaturan
pendidikan, metode serta sistem penyelenggaraan pendidikan serta kebenaran
tentang kebenaran manajemen pendidikan itu sendiri ( Suparlan Suharto, 2007:118).
Hanya saja epistemologis atau sumber dan landasan manajemen pendidikan
disandarkan kepada kebenaran konsep dan teoretis yang disesuaikan dengan tujuan
hidup manusia, yang manusia tersebut sebagai objek dan subjek manajemen pendidikan.
Landasan epistemologi memiliki arti
yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat
berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang
kokoh. Sumber utama pelaksanaan Manajemen Pendidikan adalah konsep-konsep
pemikiran dari ragam pikir. Mengingat landasan epistemologis manajemen
Pendidikan ini adalah bersifat teoritis, maka kajian epistemologi sangat
penting dalam membangun paradigma manajemen Pendidikan karena mempunyai pengaruh
terhadap aspek ontologi dan aksiologinya.
Secara historis, bangunan
epistemologi ilmu-ilmu pengetahuan klasik termasuk manajemen Pendidikan juga
merupakan hasil konstruksi keilmuan masalalu dan kebanyakan pemikir berbangga
diri dengan terus melakukan romantisme masa lalu itu. Akibatnya, dunia
manajemen pendidikan mengalami stagnasi. Oleh karena itu, banyak
pemikir-pemikir secara profesional masa kini melakukan rekonstruksi
terhadap paradigma keilmuan manajemen
itu dari segi epistemologinya sebagai pangkal awal dalam melakukan perubahan
dan dinamisasi keilmuan..
Metode manajemen pendidikan membahas
metode-metode yang dipakai untuk menyampaikan materi manajemen Pendidikan,
sedangkan metode epistemologi pendidikan dimaksudkan untuk membangun, menggali,
dan mengembangkan manajemen Pendidikan ( Mujamil Qomar, 2007:272). Metode
epistemologi manajemen Pendidikan ini digunakan untuk memperoleh pengetahuan
manajemen Pendidikan.
Secara epistemologis, manusia menjadi objek
formal dari manajemen Pendidikan dengan menitik beratkan pada aspek pembentukan
kualitas kesadarannya sebagai makhluk Tuhan, dan kesadaran sebagai bagian dari
alam dan masyarakat lainnya. Dengan menumbuhkan kesadaran ini maka peserta
didik diharapkan dapat memaksimalkan potensi dan kreativitas yang ada dalam
dirinya. Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia dalam hal ini peserta didik
dibekali oleh sang Khaliq dengan potensi kodrat yang sempurna, yaitu potensi
cipta, rasa, dan karsa. Potensi berharga inilah yang mengantarkan bahwa manusia
adalah pemimpin dan pengatur kehidupan di dunia ini. Dengan dukungan potensi
tersebut, manusia di didik agar memiliki orientasi yang tinggi untuk
mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan yang terkandung pada
realitas yang ada di alam semesta ini. Berdasarkan uraian di atas maka secara
spesifik bisa diartikan bahwa epistemologi manajemen Pendidikan berorientasi
pada bagaimana proses membangun paradigma manajemen Pendidikan yang mengarah
pada pengembangan pendidikan di indonesia.
Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen
pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara
produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan
sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil
ilmu manajemen pendidikan memerlukaan pendekatan epistemologis yang akan
menjalin studi empirik dengan studi kualitatif- epistemologis. Pendekaatan
epistemologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri
peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Oleh karena itu, penelaaah
dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagai pakar yang
jujur dan menyatu dengan objeknya. Hal
ini disebabkan penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan
pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi: 1999)
Dalam hubungan dengan manajemen pendidikan, landasan
epistemologi menelaah sejarah munculnya manajemen pendidikan, prinsip dan
proses pencapaian tujuan manajemen pendidikan, yang berupa fungsi manajemen
pendidikan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan (motivasi,
kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi, koordinasi, dan negoisasi
serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (pemantauan, penilaian, dan
pelaporan)
. ( Jalil, 2009:2)
Gambar Perspektif sistem dalam manajemen Pendidikan
Pendekatan sistem pada dasarnya berupaya
mewujudkan tujuan organisasi berupa output yang bermanfaat bagi lingkungan
dengan melakukan proses transformasi dari faktor-faktor input yang diperoleh
dari lingkungan. Pandangan sistem memiliki konsep dasar sebagai berikut; sistem
(system), masukan (input), proses transformasi, keluaran (output), umpan balik
(feed back). Sistem merupakan suatu hubungan dari bagina-bagian yang saling
berhubungan atau saling tergantung satu sama lain. Komponen dari input antara
lain; sumber daya manusia, bahan bakui, informasi, modal (uang), kemudian
komponen proses transformasi yang dimaksud adalah sistem administrasi, sistem
operasi, teknologi dan sistem kontrol. Sedangkan hasil akhir berupa output
yakni barang atau jasa, output informasi, maupun perilaku pekerja. Diharapkan
lingkungan akan memberi umpan balik atau tanggapan apa yang dihasilkan oleh
sebuah perusahaan sesuai dengan permintaan atau keinginan mereka. James Stoner
menyatakan dengan mengunakan pendekatan sistem, manjaer diberikan pemahaman
untuk memandang organisasi sebagai keseluruhan dan bahkan sebagai bagian dari
lingkungan sebagai sistem global ( Ulbert
Silalahi: 1996).
1. Sejarah Manajemen Pendidikan terkait
Epistemologi Manajemen Pendidikan
Salah satu aspek telaah epistemologi terhadap
manajemen pendidikan adalah historisitas manajemen pendidikan. Aspek ini
membicarakan sejarah lahirnya manajemen pendidikan, yang di dalamnya terkandung
pelbagai alasan dan kebutuhan akan pentingnya manajemen pendidikan yang memperhatikan
semua komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, dengan
menekankan unsur desentralisasi dan otonomi pendidikan.
Manajemen pendidikan pertama-tama lahir di Amerika
Serikat, yang ditandai oleh perjuangan sebagian besar guru untuk memperbaiki
nasibnya. Dari hal yang sederhana ini, kemudian dibentuk Asosiasi Pendidikan
Nasional (National Education Association,
NEA) pada tahun 1875. Pada tahun 1887, para guru di New York membentuk
sebuah asosiasi kepentingan bersama. Pada tahun 1903, para guru di Philadelphia
membentu organisasi Asosiasi Guru-Guru Philadelphia (Philadelphia Teachers Association). Melalui asosiasi inilah para
guru berjuang untuk meningkatkan martabat hidupnya, yang hasilnya antara lain
para guru memperoleh gaji yang lebih baik ( Sudarman Danim, 2008:26). Di Atlanta,
para guru membentuk Persatuan Guru-Guru Sekolah Publik Atlanta. Persatuan ini
dibentuk untuk menghadapi tekanan dari dewan kota. Akhirnya, dewan kota
memberikan dana yang lebih banyak untuk pendidikan.
Kemudian guru-guru League, yang dipelopori oleh tokoh
sosialis seperti Henry Linville, John Dewey, membentuk sebuah asosiasi yang
sekadar membicarakan persoalan ekonomi. Tujuannya adalah memberi pilihan bagi
para guru dalam menentukan kebijakan sekolah (school policy) untuk memperoleh wakil di pentas pendidikan di New
York, membantu masalah-masalah sekolah, membersihkan politik Amerika Serikat
dari penyimpangan keputusan, dan meningkatkan kebebasan diskusi publik dari
masalah-masalah pendidikan.
Drucker mengemukakan bahwa manajemen pendidikan
sesungguhnya lahir dari keprihatinan terhadap dunia individu, yang dipicu oleh
faktor internal dan eksternal dunia pendidikan yang berdampak pada rendahnya
mutu output pendidikan. Drucker mengatakan bahwa ada beberapa alasan munculnya
manajemen pendidikan yang bersifat reformatif, yakni:
a. Kondisi-kondisi dunia pendidikan
yang tidak diharapkan, seperti mutu pelayanan pendidikan di sekolah yang
rendah, pengelolaan dana pendidikan yang tidak efisien, proses promosi guru
yang berjalan lamban, dan sebagainya. Akses ini muncul akibat manajemen tidak
dikelola secara profesional.
b. Munculnya
ketidakwajaran selama proses pendidikan di sekolah atau pada hasil yang
dicapai. Prosedur birokrasi kepegawaian yang lamban, rekruitmen kepala sekolah
secara amatiran, komunitas sekolah yang tidak kreatif, merupakan contoh
ketidakwajaran itu. Ketidakwajaran ini mendorong para pembaru untuk mencari
alternatif manajemen pendidikan baru.
c. Kebutuhan
yang muncul dalam proses, yang menuntut partisipasi semua pihak terkait dalam
pendidikan.
d. Perubahan
struktur organsisasi dan jenis tenaga yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja
merupakan salah satu sumber inspirasi bagi kepala sekolah untuk membuat
keputusan inovatif di lembaganya. Keputusan ini member tekanan kuat terhadap
perubahan kurikulum dan strategi proses belajar-mengajar, misalnya dari
kecenderungan pengajaran teoretis ke pelatihan yang bersikap praktis. Di
negara-negara sentralistik, kekuatan kepala sekolah untuk membuat keputusan
relatir terbatas. Adanya manajemen pendidikan
yang reformatif dan inovatif, yakni MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), memungkinkan adanya perubahan
struktural secara signifikan dalam skema pengelolaan sekolah.
e. Variasi
kondisi demografis membuat variasi
terhadap perilaku kepala sekolah di daerah masing-masing. Contohnya, di
sekolah-sekolah tradisional yang tidak memiliki fasilitas penerangan, misalnya,
kepala sekolah tidak akan pernah memikirkan upaya menghimpun dana untuk membeli
overhead projector atau televise
dalam rangka membantu kelancaran proses belajar-mengajar.
f. Inovasi yang
bersumber dari perubahan persepsi, suasana, dan makna umumnya disebabkan oleh
penerimaan dan penafsiran individu atas informasi yang diterimanya dari
lingkungan. Informasi ini dapat diperoleh melalui media massa.
Di
Indonesia, munculnya manajemen pendidikan berbasis sekolah dilatarbelakangi
oleh persoalan mendasar rendahnya mutu pendidikan yang dihadapi bangsa
Indonesia (Jalil,
2009:1). Kualitas lulusan pendidikan formal sangat ditentukan
oleh sumber daya pendidik, manajemen sumber daya manusia dan manajemen
pendidikan, kurikulum, fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya yang terlibat
dalam proses pembelajaran di sekolah.
Ada berbagai upaya yang telah
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, misalnya
pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui
pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
Konsep
manajemen peningkatan mutu berbasis satuan pendidikan ini ditulis dengan tujuan;
a.
Mensosialisasikan konsep dasar
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b.
Memperoleh
masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai
dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural,
sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
c.
Menambah wawasan pengetahuan
masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap
pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d.
Memotivasi masyarakat sekolah untuk
terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing
– masing.
e.
Menggalang kesadaran masyarakat
sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan
peningkatan mutu pendidikan.
f.
Memotivasi timbulnya
pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari
individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses
pembangunan tersebut.
g.
Menggalang kesadaran bahwa
peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat,
dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran
sekolah.
h.
Mempertajam
wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas
dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun dan seterusnya sehingga
tercapai misi sekolah kedepan.
2.
Epistemologi
Prinsip-prinsip Manajemen Pendidikan
Untuk menjamin keberhasilan sebuah keberhasilan dalam
pendidikan maka manajemen berbasis sekolah haruslah dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip manajemen pendidikan.
Prinsip-prinsip manajemen pendidikan adalah
dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah pendidikan
Prinsip-prinsip manajemen pendidikan dapat diadaptasi dari prinsip-prinsip
manajemen.
Menurut Henry Fayol
dalam (siagian,
1994:38), prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat
lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan
situasi yang berubah-rubah. Prinsip – prinsip umum manajemen menurut Henry
Fayol terdiri dari:
1) Pembagian
kerja (Division of work)
Pembagian
kerja harus disesuaikan dengan kemampuan dan keahlian sehingga pelaksanaan
kerja berjalan efektif. Oleh karena itu, kepala sekolah selaku manajer disekolah
dalam penempatan pendidik dan tenaga pendidik harus menggunakan prinsip the right man in the right place.
Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang
didasarkan atas dasar like and dislike.
Dengan adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan
memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran,dan
efesiensi kerja pada dunia pendidikan. Pembagian kerja yang baik merupakan
kunci bagi penyelengaraan pendidikan. Kecerobohan dalam pembagian kerja akan
berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan
pendidikan, oleh karena itu, seorang kepala sekolah yang berpengalaman akan
menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik tolak
bagi prinsip-prinsip lainnya.
2)
Wewenang dan tanggung jawab (Authority and responsibility)
Setiap
pendidik dan tenaga pendidik dilengkapi dengan wewenang untuk melakukan
pekerjaan dan setiap wewenang melekat atau diikuti pertanggungjawaban. Wewenang
dan tanggung jawab harus seimbang. tanggung jawab terbesar terletak pada kepala sekolah.
Kegagalan penyenggaraan pendidikan sejatinya bukan terletak pada pendidik atau
tenaga pendidik, tetapi terletak pada puncak pimpinannya yaitu kepala sekolah
karena yang mempunyai wewemang terbesar dalam sekolah adalah kepala sekolah. Oleh karena
itu, apabila kepala sekolah tidak mempunyai keahlian dan kepemimpinan, maka
wewenang yang ada padanya merupakan bumerang.
3)
Disiplin (Discipline)
Disiplin
merupakan perasaan taat dan patuh terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung
jawab. Disiplin ini berhubungan erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak
berjalan dengan semestinya, maka disiplin akan hilang. Oleh karena itu, kepala
sekolah harus dapat menanamkan disiplin terhadap dirinya sendiri dan pendidik
beserta tenaga pendidik yang ada disekolah sehingga mempunyai tanggung jawab
terhadap pekerjaan sesuai dengan wewenang yang ada padanya. Masalah pendidikan
di Indonesia saat ini sangat terkait dengan prinsip disiplin, yaitu sikap
mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang
dipimpin bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa tanggung jawab.
Yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan
berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
4)
Kesatuan perintah (Unity of command)
Dalam melakasanakan pekerjaan bawahan harus memperhatikan prinsip
kesatuan perintah sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik.
Bawahan harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesuai dengan
wewenang yang diperolehnya.
5)
Kesatuan pengarahan (Unity of direction)
Dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya
bawahan perlu diarahkan menuju sasarannya. Kesatuan pengarahan bertalian erat
dengan pembagian kerja. Pelaksanaan kesatuan pengarahan (unity of direction) tidak dapat terlepas dari pembagian kerja,
wewenang dan tanggung jawab, disiplin, serta kesatuan perintah.
6)
Mengutamakan Kepentingan Organisasi
Setiap pendidik dan tenaga pendidik harus mengabdikan
kepentingan sendiri kepada kepentingan pendidikan. Hal semacam itu merupakan
suatu syarat yang sangat penting agar setiap kegiatan berjalan dengan lancar
sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik. Masalah pendidikan yang banyak
terjadi di Indosenia terkait dengan kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana
pendidikan
7)
Penggajian Pegawai
Gaji atau upah bagi pendidik dan tenaga pendidik
merupakan kompensasi yang menentukan terwujudnya keberhasilan dalam pendidikan.
Pendidik dan tenaga pendidik yang diliputi perasaan cemas dan kekurangan akan
sulit berkonsentrasi terhadap tugas dan kewajibannya sehingga dapat
mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam menjalan tugasnya sebagai penyelenggara
pendidikan.
8)
Pemusatan (Centralization)
Pemusatan wewenang akan menimbulkan pemusatan tanggung
jawab dalam suatu kegiatan. Tanggung jawab terakhir terletak pada orang yang
memegang wewenang tertinggi jika dalam sekolah yaitu kepala sekolah. Pemusatan
bukan berarti adanya kekuasaan untuk menggunakan wewenang, melainkan untuk
menghindari kesimpangsiuran wewenang dan tanggung jawab. Pemusatan wewenang ini
juga tidak menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation of authority)
9)
Hirarki (tingkatan)
Pembagian kerja menimbulkan adanya atasan dan bawahan.
Bila pembagian kerja ini mencakup area yang cukup luas akan menimbulkan
hirarki. Hirarki diukur dari wewenang terbesar yang berada pada atasan dan
seterusnya berurutan ke bawah.
10)
Ketertiban (Order)
Ketertiban
dalam melaksanakan pekerjaan merupakan syarat utama karena pada dasarnya tidak
ada orang yang bisa bekerja dalam keadaan kacau atau tegang.
11)
Keadilan dan kejujuran
Keadilan dan kejujuran merupakan salah satu syarat
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan dan kejujuran terkait
dengan moral para pelaksana pendidikan dan tidak dapat dipisahkan.
12)
Stabilitas kondisi karyawan
Dalam penyelnggaraan penddidikan kestabilan pendidik
dan tenaga pendidik harus dijaga sebaik-baiknya agar penyelanggaraan pendidikan
berjalan dengan lancar. Kestabilan terwujud karena adanya disiplin kerja yang
baik dan adanya ketertiban dalam kegiatan.
13)
Prakarsa
(Inisiative)
Prakarsa
timbul dari dalam diri seseorang yang menggunakan daya pikir. Prakarsa
menimbulkan kehendak untuk mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian
pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
14)
Semangat Kesatuan dan Semangat Korps
Setiap pelaksana pendidikan harus memiliki rasa
kesatuan, yaitu rasa memiliki sehingga menimbulkan semangat kerja sama yang
baik. Semangat kesatuan akan lahir apabila setiap pendidik dan tenaga pendidik
mempunyai kesadaran bahwa penyelenggaraan pendidikan yang baik akan sangat
berarti guna meningkatkan mutu pendidikan nasional.
3.
Epistemologi
Fungsi-fungsi Manajemen Pendidikan
Dalam proses manajemen pendidikan, terlibat beberapa
fungsi pokok yang ditampilkan oleh manajemen pendidikan sesuai dengan pendapat
H. Siagian (1977) yang mengungkapkan pandangan menurut G.R. Terry dimana
terdapat empat fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan. Karena itu, manajemen pendidikan dapat diartikan
sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin, melaksanakan dan
mengendalikan upaya pendidikan dengan segala aspeknya agar tujuan pendidikan
tercapai secara efektif dan efisien.
Dalam bagian ini, penulis mengemukakan proses-proses
tersebut sesuai dengan hakikat manajemen berbasis satuan pendidikan yang adalah
bentuk manajemen khusus dari manajemen pendidikan pada umumnya, yang diterapkan
dalam dunia pendidikan di Indonesia.
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan
dalam manajemen pendidikan merupakan sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya
untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan
yang ditetapkan ( Suryosubroto: 2004). Tujuan perencanaan dalam MBS adalah (1)
memiliki standar pengawasan, (2) mengetahui pemetaan waktu pelaksanaan dan
selesainya suatu kegiatan, (3) mengetahui subjek yang terlibat dalam kegiatan,
(4) mendapatkan kegiatan yang sistematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak
produktif, (6) mendeteksi hambatan dan kesulitan yang ditemui, dan (7)
mengarahkan pada pencapaian tujuan.
Perencanaan
yang tepat akan memberikan beberapa manfaat positif, seperti:
a.
Sebagai
standar pengawasan.
b.
Pemulihan
sebagai alterbatif terbaik.
c.
Penyusunan
skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan.
d.
Menghemat
pemanfaatan sumber daya organisasi.
e.
Membantu
manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
f.
Alat
yang memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait.
g.
Alat
yang meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti.
Hal
penting yang harus diperhatikan adalah bahwa proses perencanaan di sekolah
harus dilaksanakan secara kolaboratif, yang melibatkan personel sekolah dalam
semua tahap perencaan itu. Unsur partisipatif ini bertujuan membangkitkan
perasaan memiliki bersama (sense of
belonging), yang berpengaruh besar kepada para pendidik dan personel sekolah
lainnya untuk berusaha agar rencana tersebut berhasil.
Perencanaan
dalam manajemen pendidikan memiliki ranah edukatif, yang mencakupi perencanaan
kurikulum, kemuridan, keuangan, prasarana dan sarana, kepegawaian, layanan
khusus, hubungan masyarakat, proses belajar-mengajar (fasilitasnya), dan
ketatausahan sekolah.
Seluruh
perencanaan yang menyangkut lingkup-lingkup di atas hendaknya memperhatikan
beberapa hal, yakni
a.
Waktu
pelaksanaan baik perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
b.
Sumber
perencanaan baik yang berasal dari bawah (misalnya mulai dari para guru, kepala
sekolah, kantor Dinas
Pendidikan Nasional tingkat kabupaten, kantor Dinas Pendidikan Nasional tingkat
propinsi, dan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) maupun yang
berasal dari atas (misalnya mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sampai kepada para guru).
c.
Besarnya
perencanaan, baik perencanaan makro – suatu perencanaan pada tingkat nasional
atau tingkat departemen, yaitu pada tingkat direktorat jenderal, direktorat
atau propinsi sampai tingkat kantor departemen kabupaten – maupun perencanaan
mikro, yaitu yang dilaksanakan pada tingkat sekolah atau kelas.
d. Pendekatannya,
baik yang bersifat terpadu – yang menyatukan semua sumber untuk mencapai tujuan
– maupun yang bersifat parsial, yang memperhatikan sumber secara terpisah-pisah
untuk tujuan tertentu.
e.
Pelakunya, baik perencanaan
individual (yang dilakukan guru secara individu), perencanaan kelompok, maupun
perencanaan lembaga (yang berlaku dan dibuat oleh sekolah).
2.
Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian berkaitan dengan kegiatan pengaturan
sumber daya manusia dan sumber daya fisik lain yang dimiliki oleh suatu lembaga
pendidikan untuk menjalankan rencana yang telah ditetapkan dan mencapai tujuannya.
Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses untuk memilih dan memilah
orang-orang (pendidik dan personal sekolah lainnya) serta mengalokasikan sarana
dan prasarana untuk menunjang tugas orang-orang itu dalam rangka mencapai
tujuan sekolah.
Aspek pengorganisasian Manajemen Pendidikan mengacu pada
proses perencanaan dan pengembangan suatu organisasi, pengelompokan kegiatan,
penguasaan tanggung jawab tertentu, pendelegasian wewenang yang diperlukan
untuk individu-individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Menurut
Mulyasa (2007: 31) Ada tiga komponen penting yang terkandung dalam aspek
pengorganisasian suatu lembaga pendidikan, yakni kerja sama, subjek/pelaksana,
dan tujuan bersama . Aspek pengorganisasian penting dalam Manajemen pendidikan karena
bermanfaat, antara lain:
a.
Mengatasi terbatasnya kemampuan,
kemauan, dan sumber daya yang dimiliki.
b.
Untuk mencapai tujuan yang lebih
efektif dan efisien.
c.
Wadah memanfaatkan sumber daya yang
dimiliki secara bersama-sama.
d. Wadah
mengembangkan potensi dan spesialisasi yang dimiliki seseorang.
e.
Wadah mendapatkan jabatan dan
pembagian kerja.
f.
Wadah mencari keuntungan bersama.
g.
Wadah mengelola lingkungan
bersama-sama.
h.
Wadah menggunakan kekuasaan dan
pengawasan
i.
Wadah mendapatkan penghargaan.
j.
Wadah memenuhi kebutuhan manusia.
k.
Wadah menambah pergaulan.
3.
Pelaksanaan (Actuating)
Didalam
pelaksanaan MBS terdapat fungsi pengarahan dimanafungsi ini merupakan salah
satu fungsi penting dari kepemimpinan manajer (kepala sekolah) untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kerja secara maksimal serta menciptakan lingkungan
kerja yang sehat dan dinamis.
Pengarahaan merupakan suatu usaha menjaga dan
mengawasi pelaksanaan atas rencana yang telah ditetapkan agar dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Pengarahaan dapat diidentikkan dengan penjelasan,
petunjuk serta pertimbangan dan bimbingan terhadap para petugas yang terlibat,
baik secara struktural maupun fungsional agar pelaksanaan tugas dapat berjalan
dengan lancar.
Pengarahan berkaitan dengan implementasi dari
perencanaan sekolah, yaitu pelaksanaan. Pelaksanaan dalam program sekolah
sangat tergantung pada dua hal, yaitu kepemimpinan, dan motivasi kerja semua
komponen dalam sekolah. Antara pemimpin dan pelaksana mempunyai tugas dan
bertanggung jawab masing-masing atas tugasnya.
4.
Pengendalian (Controlling)
Fungsi kontrol (pengawasan pendidikan) sangat penting,
karena erat kaitannya dengan pelaksanaan dan hasil yang diharapkan oleh sistem
pendidikan. Fungsi kontrol pendidikan tetap mengacu dalam tiga hal, yakni
berfungsi sebagai sensor, komparator,
dan activator. Pada fungsi sensor, kontrol pendidikan itu mendayagunakan
rencana pendidikan sebagai ukuran yang dimaksudkan untuk mengukur pelaksanaan
dan keberhasilan suatu rencana pendidikan.
Pada fungsi komparator
bermaksud membandingkan antara hasil pengukuran dan perencanaan pendidikan yang
telah dikembangkan sebelumnya. Fungsi activator
dimaksudkan untuk mengarahkan tindakan manajerial bilamana terjadi suatu
perubahan dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Sistem kontrol pendidikan juga
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Apakah
kontrol itu dilakukan secara terbuka atau secara tertutup? Kontrol yang
dilakukan secara terbuka berarti dapat melibatkan semua orang di lingkungan
organisasi dan konsekuensinya semua informasi perlu ditampung dan diperhatikan.
Kontrol secara tertutup keterlibatan hanya dibatasi pada pihak-pihak terkait
saja dan umumnya tidak menyelusuri semua dimensi organisasi pendidikan. Kedua
cara ini sesungguhnya dapat dilakukan secara berbarengan.
b. Apakah
kontrol pendidikan dilakukan oleh manusia atau oleh mesin (alat elektronik
misalnya). Sistem manajemen pendidikan yang telah berkembang dewasa ini
memungkinkan penggunaan kedua sistem tersebut, yakni dilakukan oleh manusia dan
menggunakan alat yang canggih.
c. Apakah
kontrol dilaksanakan terhadap efektivitas dan efisiensi organisasi atau
terhadap hasil operasionalisasi sistem pendidikan. Kedua bentuk kontrol
tersebut seyogyanya dilaksanakan dalam sistem manajemen pendidikan, karena pada
dasarnya antara kegiatan organisasi pendidikan dan keberhasilan yang dicapai
dalam pelaksanaan harian bersifat saling terkait dan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan.
Pengendalian
yang disebut juga pengawasan atau controlling.
Tujuannya adalah:
a. Menghentikan
atau meniadakan masalah, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan
ketidakadilan.
b. Mencegah
terulangnya kembali kesalahan penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan
dan ketidakadilan.
c. Menciptakan
cara yang lebih baik untuk membina yang telah baik.
d. Menciptakan
suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, dan akuntabilitas organisasi.
e. Meningkatkan
kelancaran operasi organisasi.
f. Memberikan
opini atas kerja organisasi.
g. Menciptakan
terwujudnya pemerintahan yang bersih.
E. Landasan Aksiologis Manajemen Pendidikan
Aksilogi
merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya ( Dani Vardiansyah, 2008:91). Aksiologi merupakan suatu pendidikan
yang menguji dan mengitegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia.
Dengan kata lain nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam pribadi para pemimpin
pendidikan (kepala sekolah), guru, staf, dan anak didik. Sesuai dengan
tujuannya, maka manfaat manajemen pendidikan. Pertama, terwujudnya
suasana belajar dan proses pembelajaran yang Aktif, Inovative, Kreatif, Efektif,
dan Menyenangkan. Kedua, terciptanya peserta didik yang aktif
mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ketiga, terpenuhinya salah satu dari 4
kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan (tertunjangnya kompetensi
profesional sebagai pendidik dan tenaga kependidikan sebagai manajer). Keempat,
tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Kelima, terbekalinya tenaga
kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan
(tertunjangnya profesi sebagai manajer pendidikan atau konsultan manajemen
pendidikan). Keenam, teratasinya masalah mutu pendidikan (Husaini,
2006:8)
Kemanfaatan
teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan
sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai manajemen
pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni,
melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan
bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan
meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu
pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis
antar pekerjaan administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok.
Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang
sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan
memerlukan teknologi pula untuk menjembatani persoalan yang sedang berlangsung
maupun yang akan terjadi.
Kesimpulan
Ilmu manajemen dikenal tiga aliran pemikiran
manajemen yang masing-masing berusaha membantu manajer untuk memahami dan
memimpin organisasi, serta mengatasi masalah-masalahnya. Lebih khusus, manajemen pendidikan merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mempersiapkan proses pendidikan yang
lebih baik, sehingga hasil yang diperoleh pun menjadi lebih optimal. Manajemen
pendidikan dapat di tinjau dari perspektif filosofis dan historis. Secara
ontologis manajemen pendidikan merupakan sejumlah kegiatan yang ditentukan
sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai
tujuan yang ditetapkan. Tujuan manajemen pendidikan adalah (1) memiliki standar
pengawasan, (2) mengetahui pemetaan waktu pelaksanaan dan selesainya suatu
kegiatan, (3) mengetahui subjek yang terlibat dalam kegiatan, (4) mendapatkan
kegiatan yang sistematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif, (6)
mendeteksi hambatan dan kesulitan yang ditemui, dan (7) mengarahkan pada
pencapaian tujuan. Perencanaan yang tepat akan memberikan beberapa manfaat
positif, seperti: Sebagai standar pengawasan, Pemulihan sebagai alterbatif
terbaik, Penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan, Menghemat
pemanfaatan sumber daya organisasi, Membantu manajer menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan, Alat yang
memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait dan Alat yang meminimalkan
pekerjaan yang tidak pasti.
Secara
epistemologis manajemen pendidikan memiliki metodologi sendiri dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan bagaimana melaksanakan manajemen bendidikan yang baik.
Secara epistemologis Untuk menjamin keberhasilan sebuah
keberhasilan dalam pendidikan maka manajemen berbasis sekolah haruslah
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan. Prinsip-prinsip
manajemen pendidikan adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari
keberhasilan sebuah pendidikan Prinsip-prinsip manajemen pendidikan dapat
diadaptasi dari prinsip-prinsip manajemen. Menurut Henry Fayol dalam prinsip-prinsip
dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu
dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang berubah-rubah.
Selanjutnya secara aksiologis, manajemen
pendidikan memiliki nilai tidak hanya sebagai ilmu
yang berdiri sendiri tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai manajemen
pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni,
melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan
bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan
meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu
pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis
antar pekerjaan administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pendidik.
DAFTAR PUSTAKA
Dani
Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi: SuatuPengantar, Indeks, Jakarta 2008
Engkoswara dan Komariah., (2010). Administrasi
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Firman. (2012). Filsafat
dan Teori manajemen pendidikan.
Mudyahardjo, R. (2004). Filsafat
ilmu pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pidarta, M. (2000). Landasan
kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R. (2006). Standardisasi
pendidikan nasional: Suatu tinjauan
kritis. Jakarta: Rineka Cipta.
Tim. (2003). Salinan
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sudarwan Danim, Visi Baru
Manajemen Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
Jalil, Y. Harri. 2009. “Materi
Kuliah Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat”, Ms (Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta, 2009)
Putra, Aris Try
Andreas, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Diandra Cerative, 2015
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan
Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas.
Suryosubroto,
2004, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta
Siagian, Sondang
P. 1994. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta : Bumi Aksara
Soewadji Lazaruth, Kepala
Sekolah dan Tanggung-jawabnya, Jakarta, Kanisius, 1984
Robbins, Stephen
P. 2003. Manajemen. Edisi Indonesia.
PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan
Bintang, 1985
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan,
Yogyakarta : Kanisus, 1994
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta:
Arruz Media, 2007
Mujammil, Qomar,Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2007
Jalil, Y. Harri. 2009. “Materi
Kuliah Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat”, Ms (Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta, 2009
Silalahi, Ulbert. 1996. Pemahaman Praktis : Asas-asas Manajemen. CV.Mandar Maju, Bandung.
Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan
Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas.
Suryosubroto,
2004, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta:Rineka Cipta
No comments:
Post a Comment