Tulisan Berjalan

Marilah Kita selalu Meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan Kita Kepada Allah SWT

Thursday, September 7, 2017

URGENSI MAHASISWA DALAM MENYUKSESKAN PROGRAM DERADIKALISASI PAHAM RADIKAL

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga penduduknya menempati wilayah yang berbeda-beda. Kondisi ini yang mendasari Indonesia disebut sebagai negara yang majemuk baik dari sisi etnisitas maupun budaya serta agama dan kepercayaannya (Mulyana dan Jalaluddin, 1990). Adanya perbedaan  dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan menciptakan yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Dengan kata lain pluralitas memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakekatnya menolak esensi kehidupan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai macam prasangka negatif antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial dan sering mengakibatkan terjadinya konflik (Mulyana dan Jalaluddin, 1990) .
Konflik sosial yang seringkali muncul di masyarakat pada umumnya disebabkan oleh konflik antar umat beragama. Konflik ini disebakan oleh munculnya paham radikalisme.  Radikalisme adalah Sikap atau tindakan kekerasan terhadap pemeluk agama tertentu semata-mata karena mereka menganut keyakinan agama yang berbeda dan atau bertolak belakang dengan keyakinan agama yang kita anut. Radikalisme agama dalam banyak kesempatan telah terbukti berdampak pada munculnya sikap ekstrimisme, di mana sikap tersebut sangat berpotensi memunculkan tindakan terorisme (Syafi'as, 2017). Sebagai contoh konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam (Maulani, 2012). Selain itu, konflik akibat perbedaan agama juga melanda dunia di kawasan Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Afrika. Sejarah mencatat terjadinya Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad antar Islam-Kristen, Perang saudara Hindu-Muslim di India, Perang Arab-Israel di Timur, kehancuran pengikut David Koresh di Texas Amerika Serikat, perang Muslim-Kristen di Bosnia Herzegovina. Paham radikalisme terbukti telah menghancurkan peradaban yang sangat dahsyat.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus mampu mencegah menjamurnya paham radikalisme dengan melakukan deradikalisasi, dimana dalam pemahaman agama diajarkan keterampilan pemecahan masalah tanpa kekerasan, berfikir kritis, toleransi, dan pemahaman agama secara integratif tidak menimbulkan bias. Fungsi Deradikalisasi secara utuh adalah untuk menetralisir paham-paham garis keras atau radikal melalui pendekatan yang bersifat interdisipliner. Pendekatan itu berupa hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan/atau prokekerasan.
Selama ini, Program deradikalisasi digalakkan oleh pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mengajak masyarakat yang radikal terutama narapidana teroris, mantan napi teroris, keluarga dan jaringannya, agar kembali ke jalan yang benar. Hal ini tentu tidak efisien mengingat jumlah karyawan/pegawai BNPT yang tidak banyak serta luasnya wilayah Indonesia mengakibatkan seluruh lapisan masyarakat tidak mendapatkan program deradikalisasi. Selain itu, program deradikalisasi belum masuk pada lingkungan pelajar dan mahasiswa, hanya sebatas napi terori di penjara. Oleh karena itu, program deradikalisasi perlu digalalakkan di dunia kampus dengan melibatkan mahasiswa. Partisipasi dan peran aktif mahasiswa sangat penting dalam menyukseskan program deradikalisasi. Hal ini tidak terlepas dari tugas dan peran mahasiswa sebagai agent of control dan agent of change  yang telah mampu memberikan banyak sejarah dalam terciptanya revolusi di Indonesia. Selain itu, mahasiswa merupakan generasi muda yang memiliki ide-ide cemerlang dalam mengatasi segala ketimpangan-ketimpangan yang akan mengancam keutuhan negara Indonesia
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka penulis akan mencoba membahas tentang urgensi mahasiswa dalam menyukseskan program radikalisme paham radikal. Tulisan singkat ini akan coba menjelaskan tentang pentingnya mahasiswa untuk terlibat dalam upaya pencegahan menyebarnya paham-paham radikal di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana urgensi mahasiswa dalam menyukseskan program deradikalisasi paham radikal?
C.    Tujuan Makalah
Tujuan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan  urgensi mahasiswa dalam menyukseskan program deradikalisasi paham radikal.





















BAB II
PEMBAHASAN
“Urgensi Mahasiswa Dalam Menyukseskan Program Deradikalisasi Paham Radikal”
Negara indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar dengan munculnya kelompok masyarakat dengan membawa paham radikal dalam kehidupan beragama. Berdasarkan hasil survei Setara Institute selama tahun  2016 mencatat ada 208 peristiwa kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang dibarengi 270 tindakan. Angka tersebut meningkat bila dibandingkan pada tahun 2015, di mana tercatat ada 197 peristiwa dan 236 tindakan. Hasil Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Tahun 2011 dengan responden guru PAI dan siswa SMP Se-Jadebotabek menunjukkan potensi radikal yang kuat di kalangan guru dan pelajar dengan indikasi resistensi yg lemah terhadap kekerasan atas nama agama, intoleransi, sikap ekslusif serta keraguan terhadap ideologi Pancasila.
Penyebab meningkatnya sikap intoleransi dan radikalime adalah karena masuknya paham-paham baru dalam kehidupan beragama, khususnya Agama Islam.  Perkembangan aliran dan faham keagamaan tak jarang menimbulkan konflik antarsesama pemeluk agama yang  sama maupun di antara pemeluk agama yang berbeda. Paham radikalisme jelas sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Kebhinekaan yang menjunjung tinggi toleransi dan kebebasan beragama. Dalam  Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Selanjutnya, pasal 28E ayat (2)  juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Jadi, negara Indonesia sangat menghargai kebebasan beragama dan menolak paham radikalisme.
Fenomena paham radikal perlu diwaspadai mengingat radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme yang mampu menghancurkan hidup dan kehidupan serta memporakporandakan tatanan dan tuntunan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Menurut Asrudi Azwar, munculnya ISIS di Tanah Air adalah akumulasi dari gerakan radikalisme sebelumnya (Kompas, 31/3/2015). Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem (syamsul Ma’arif, 2014). Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan) ((BNPT, 2016).
Memang tidak semua yang memiliki paham radikal terjerumus dalam jaringan terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang untuk bergabung dalam jaringan terorisme. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme (BNPT/2016). Jadi  perlu adanya langkah-langkah tepat dari pemerintah dalam mencegah menjamurnya paham radikal di Indonesia.
Pada era reformasi, demokratisasi, kebebasan dan perspektif HAM, pemerintah menetapkan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali. Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Salah satu strategi pencegahan dari  dari BNPT adalah dengan menggalakan program deradikalisasi. Tujuan dari deradikalisasi adalah agar kelompok inti, militant simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.
Namun, program deradikalisasi yang selama ini dilaksanakan tidak menjamin napi terorisme sadar dan jera. Ada yang semakin radikal, merekrut kelompok baru, dan kambuh lagi setelah ke luar penjara. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan ketika kembali kemasyarakat mereka akan menyebarkan paham-paham radikalisme yang selanjutnya mendirikan kelompok-kelompok kecil yang menjalankan aksi teror. Berdasarkan catatan BNPT tahun 2015, ada sekitar 600 orang mantan narapidana terorisme yang telah bebas karena telah selesai menjalani hukuman atau mendapat pembebasan bersyarat. Dari 600 mantan napi yang sudah bebas itu, sekitar 15 persen atau 90 orang terdeteksi kembali terlibat aksi terorisme. Sebanyak 28 orang telah ditembak mati (Tirto.id/2016). Untuk itu, BNPT tidak boleh bergerak sendiri tapi harus melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki pengaruh besar dalam merubah pemikiran masyarakat yaitu menjalin kerjasama dengan pihak perguruan tinggi khususnya mahasiswa.
Partisipasi mahasiswa dalam program deradikalisasi di masyarakat tentu sangat tepat. Adapun alasan-alasanya adalah (1) mahasiswa merupakan kumpulan orang intelektual dan berpikiran kritis sehingga kepercayaan masyarakat sangat tinggi pada mahasiswa (2) Perguruan tinggi memiliki program-program pengabdian pada masyarakat sehingga mereka sering berbaur dengan masyarakat dan mengetahui tingkat pemahaman dan emosi masyarakat (3) Seluruh mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat dan diakui memiliki pemikiran yang lebih dari mahasiswa sehingga mudah untuk merubah ideologi dan pemahaman masyarakat. 4) Mahasiswa memiliki peran sebagai agen perubahan (agen of change) dan kontrol sosial (social control). Dengan peran ini mereka mampu melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik demi terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan pancasila dan undang-undang NKRI.
Melibatkan mahasiswa dalam program deradikalisasi bukanlah hal yang baru. Mahasiswa merupakan generasi muda penerus bangsa yang memberikan perubahan-perubahan sosial melalui ide-ide cemerlang mereka. Keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke-20, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya.
 Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rezim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air (Albanik,2016). Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan mahasiswa .
Menenggok sejarah di atas, melibatkan  mahasiswa dalam program deradikalisasi menjadi sangat penting. Mahasiswa memiliki kegiatan-kegiatan sendiri yang bisa menjadi sarana dalam melakukan program deradikalisasi. Program ini dapat dilakukan diskusi, talk sow, seminar, dan pertemuan ilmiah, mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh agama, sosialisasi penolakkan paham radikalisme baik di dalam kampus maupun di masyarakat baik. Langkah ini sangat tepat mengingat mahasiswa merupakan orang yang paling berpengaruh dalam melakukan perubahan di masyarakat.  Disamping itu, mahasiswa biasanya memerankan diri sebagai golongan yang kritis sekaligus konstruktif terhadap ketimpangan sosial dan kebijakan politik, ekonomi. Mahasiswa sangat tidak toleran dengan penyimpangan apapun bentuknya dan nurani mereka yang masih relatif bersih dengan sangat mudah tersentuh sesuatu yang seharusnya tidak terjadi namun ternyata itu terjadi atau dilakukan oleh oknum atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan pemerintah.
Namun dalam pelaksanaan program deradikalisasi tentu pasti ada kendala-kendala yang akan dihadapi oleh  pihak BNPT maupun mahasiswa. Pertama, Perguruan tinggi adalah lembaga strategis untuk mencetak kader-kader bangsa di masa depan. Posisi inilah yang disadari betul oleh mereka kaum radikalis itu. Makanya, rekruitmen yang besar-besaran dilakukan justru di kampus. Melalui rekruitmen terhadap anak-anak mahasiswa yang pintar, maka mereka akan memperoleh keuntungan ganda. Mereka akan memperoleh kader militan  dan sekaligus juga calon pemimpin di masa yang akan datang. Melihat realitas empiris seperti ini, maka pantaslah jika gerakan deradikalisasi tersebut justru diarahkan ke PT. Harus  disadari bahwa lembaga pendidikan tinggi merupakan institusi yang sangat strategis ke depan terkait dengan kepemimpinan bangsa. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, menurutnya paham radikalisme sudah menyusup ke sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia pun meminta pengelola perguruan tinggi untuk semakin meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa, terutama organisasi kemahasiswaan yang bersifat eksklusif (CNN/3/09/16).
Kedua, minimnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk program deradikalisasi. Hal tentu bisa mengakibatkan kurang efisienya pelaksanaan program deradikalisasi. Menurut Saud, Kepala BNPT mengatakkan bahwa karena keterbatasan anggaran itu maka banyak kegiatan yang tak bisa terlaksana. Misalnya,  pada tahun 2016 BNPT membutuhkan dana sekitar Rp 330 miliar dalam setahun yang sudah mencakup pelatihan dan modal usaha kepada para narapidana terorisme. Namun hanya mendapatkan dana sekitar Rp 310 miliar selama tahun 2016 (Kompas/2016). Disamping itu, akibat kekurangan dana maka BNPT akan kesulitan melibatkan pihak-pihak lain dalam program deradikalisasi khususnya mahasiswa.
Ketiga, terbatasnya waktu mahasiswa. Mahasiswa merupakan orang yang memiliki waktu kuliah yang padat tiap semester. Jadi mereka memiliki waktu luang yang sangat sedikit. Jadi hanya pada saat-saat tertentu mahasiswa bisa terlibat dalam pelaksanaan program deradikalisasi.
Dari beberapa kendala tersebut baik BNPT maupun mahasiswa tetap dituntut untuk mampu menggencarkan program deradikalisasi. Jika tidak dilaksanakan maka paham-paham radikalisme akan dengan mudah masuk ke masyarakat sehingga konflik akan terjadi dimana-mana. Selain itu, jaringan teroris akan dengan mudah melancarkan aksinya dimana-mana. Untuk mewujudkan pelaksanaan program deradikalisasi yang efektif maka perlu adanya langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Melaksanakan program deradikalisasi di kampus dengan menghadirkan para tokoh-tokoh agama untuk melakukan debat dengan mahasiswa yang memiliki paham radikalisme. Seperti yang pernah dilakukan oleh BNPT pada akhir 2013, ketika BNPT mendatangkan ulama asal Yordania, Syekh Ali Hasan Al-Halabi untuk berdebat dengan 40 napi terorisme di Lapas Nusakambangan (Tirto.id). Hal ini untuk mendegradasi paham-paham radikalisme yang ada di lingkungan kampus. Selain itu, perlu adanya peningkatan pemahaman pada tenaga pendidik  dan Mahasiswa  akan bahaya radikalisme untuk menangkal perkembang-biakannya.
2.      Pemerintah harus menyediakan anggaran yang memadai sesuai dengan permintaan pihak BNPT.
3.      Harus ada Standard Operational Procedure (SOP) sehingga pelaksanaan program deradikalisasi berdasarkan SOP. SOP ini disusun oleh BNPT dengan melibatkan mahasiswa yang disesuaikan dengan anggaran yang ada.
4.      Harus ada dasar hukum untuk menindak tegas oknum-oknum yang memiliki paham-paham radikal.
5.      BNPT menjalin kerjasama dengan Pihak perguruan tinggi untuk menyisipkan program deradikalisasi dalam setiap kurikulum.
Pada dasarnya eksistensi mahasiswa sangat diharapkan dalam merubah ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai pengontrol masyarakat (social control) dan pemberi perubahan (agent of change) yang akan terus menjunjung tinggi keterbukaan dan transparansi (Suliadi, 2016). Paham radikalisme menjadi ancaman besar bagi retaknya persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Oleh karena itu mahasiswa diharapkan terlibat dan bekerjasama dengan pemerintah dan tokoh-tokoh agama dalam mendegradasi menyebarnya paham-paham radikal di Indonesia. Diharapkan mahasiswa bisa menjalankan perannya dengan baik dan optimal dimasa sekarang maupun yang akan datang. Karena mahasiswa adalah warisan dan aset besar negara di masa depan yang memiliki hak-hak dalam kebebasan berfikir, berekspresi, dan mendapatkan pengetahuan yang baik.





















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Selama ini pemerintah telah melakukan program deradikalisasi melalui Badan nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), namun belum efektif. Untuk itu, BNPT tidak boleh bergerak sendiri tapi harus melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki pengaruh besar dalam merubah pemikiran masyarakat yaitu menjalin kerjasama dengan pihak perguruan tinggi khususnya mahasiswa. Partisipasi mahasiswa dalam program deradikalisasi tentu sangat tepat. Adapun alasan-alasanya adalah (1) mahasiswa merupakan kumpulan orang intelektual dan berpikiran kritis sehingga kepercayaan masyarakat sangat tinggi pada mahasiswa (2) Perguruan tinggi memiliki program-program pengabdian pada masyarakat sehingga mereka sering berbaur dengan masyarakat dan mengetahui tingkat pemahaman dan emosi masyarakat (3) Seluruh mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat dan diakui memiliki pemikiran yang lebih dari mahasiswa sehingga mudah untuk merubah ideologi dan pemahaman masyarakat, 4) Mahasiswa memiliki peran sebagai agen perubahan (agen of change) dan kontrol sosial (social control)
Paham radikalisme menjadi ancaman besar bagi retaknya persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Oleh karena itu mahasiswa diharapkan terlibat dan bekerjasama dengan pemerintah dan tokoh-tokoh agama dalam mendegradasi menyebarnya paham-paham radikal di Indonesia. Diharapkan mahasiswa bisa menjalankan perannya dengan baik dan optimal dimasa sekarang maupun yang akan datang. Karena mahasiswa adalah warisan dan aset besar negara di masa depan.
B.  Saran
Makalah ini masih kebanyakan bersifat penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan beberapa literatur karena waktu penyusunan yang terbatas.  Diperlukan kajian yang lebih komprehensif dan mendalam yang lebih intensif untuk menemukan fakta-fakta yang lebih jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Albanik, H. H. Psikologi Kepemimpinan Dalam Gerakan Mahasiswa Kampus 1970-an Sebagai Gerakan Koreksi Dan Nurani Bangsa. Abstrak.2016
BNPT. Strategi menghadapi paham radikalisme terorisme http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/Strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf diunduh Tanggal 19/07/2017
Bubalo, A., & Fealy, G. (2007). Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. Mizan Pustaka.
Kompas Nasional Tanggal 02 Februari 2016. BNPT Keluhkan Kekurangan Dana untuk Deradikalisasi http://nasional.kompas.com/read/2016/02/ 02/20122161/BNPT. Keluhkan.Kekurangan.Dana.untuk.Deradikalisasi diunduh Tanggal 19/07/2017
Kompas Nasional Tanggal  31  Mei 2015. Paham Radikalisme di Indonesia Dinilai Berkembang di Masa Pemerintahan SBY. http://nasional.kompas.com/read/2015/03/31/17190411/paham.Radikalisme.di.Indonesia.Dinilai.Berkembang.di.Masa.Pemerintahan.SBY  diunduh Tanggal 21/07/2017
Liliweri, A. (2005). Prasangka & konflik: komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur. PT LKiS Pelangi Aksara.
Ma’arif, Syamsul. Ideologi Pesantren Salaf: Deradikalisasi Agama. Jurnal Ibda’ Kebudayaan Islam Vol. 12. No. 2. Juli - Desember 2014
Maulani, A. (2012). Tranformasi Learning dalam Pendidikan Multikultural Keberagaman. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 1(1).
Mulyana, Deddy & Jalaluddin, Rakhmat. Komunikasi antarbudaya. Remaja Rosdakarya. 1990
Syafi'as, A. (2017). Radikalisme Agama (Analisis Kritis dan Upaya Pencegahannya Melalui Basis Keluarga Sakinah)‎. Sumbula: Jurnal Studi Keagamaan, Sosial dan Budaya, 2(1), 352-376.

Suliadi, S. (2016). Resistensi Mahasiswa terhadap Kebijakan Kampus di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jurnal Sosiologi Reflektif, 8(2).

No comments:

Post a Comment