URGENSI MAHASISWA DALAM MENYUKSESKAN PROGRAM
DERADIKALISASI PAHAM RADIKAL
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara
Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga penduduknya menempati wilayah
yang berbeda-beda. Kondisi ini yang mendasari Indonesia disebut sebagai negara yang
majemuk baik dari sisi etnisitas maupun budaya serta agama dan kepercayaannya
(Mulyana dan Jalaluddin, 1990). Adanya
perbedaan dalam kehidupan masyarakat
sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak
membosankan, dan menciptakan yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan
saling membutuhkan. Dengan kata lain pluralitas memperkaya kehidupan dan
menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun
menghilangkan adanya pluralitas, pada hakekatnya menolak esensi kehidupan.
Namun, jika tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai macam
prasangka negatif antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat
merenggangkan ikatan solidaritas sosial dan sering mengakibatkan terjadinya
konflik (Mulyana dan Jalaluddin, 1990) .
Konflik
sosial yang seringkali muncul di masyarakat pada umumnya disebabkan oleh konflik
antar umat beragama. Konflik ini
disebakan oleh munculnya paham radikalisme. Radikalisme adalah
Sikap atau tindakan kekerasan terhadap pemeluk agama tertentu semata-mata
karena mereka menganut keyakinan agama yang berbeda dan atau bertolak belakang dengan
keyakinan agama yang kita anut. Radikalisme agama dalam banyak kesempatan telah
terbukti berdampak pada munculnya sikap ekstrimisme, di mana sikap tersebut
sangat berpotensi memunculkan tindakan terorisme (Syafi'as, 2017). Sebagai contoh konflik di Ambon, Papua,
maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun
berkali-kali bisa diredam (Maulani, 2012).
Selain itu, konflik akibat perbedaan agama juga melanda dunia di kawasan Eropa,
Amerika, Timur Tengah dan Afrika. Sejarah mencatat
terjadinya Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad antar
Islam-Kristen, Perang saudara Hindu-Muslim di India, Perang Arab-Israel di
Timur, kehancuran pengikut David Koresh di Texas Amerika Serikat, perang
Muslim-Kristen di Bosnia Herzegovina. Paham radikalisme terbukti
telah menghancurkan peradaban yang sangat dahsyat.
Oleh
karena itu, pemerintah Indonesia harus mampu mencegah menjamurnya paham
radikalisme dengan melakukan deradikalisasi, dimana dalam pemahaman agama
diajarkan keterampilan pemecahan masalah tanpa kekerasan, berfikir kritis,
toleransi, dan pemahaman agama secara integratif tidak menimbulkan bias. Fungsi
Deradikalisasi secara utuh adalah untuk menetralisir paham-paham garis keras
atau radikal melalui pendekatan yang bersifat interdisipliner. Pendekatan itu
berupa hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi
atau terekspose paham radikal dan/atau prokekerasan.
Selama ini, Program deradikalisasi digalakkan oleh
pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk
mengajak masyarakat yang radikal terutama narapidana teroris, mantan napi
teroris, keluarga dan jaringannya, agar kembali ke jalan yang benar. Hal ini
tentu tidak efisien mengingat jumlah karyawan/pegawai BNPT yang tidak banyak
serta luasnya wilayah Indonesia mengakibatkan seluruh lapisan masyarakat tidak
mendapatkan program deradikalisasi. Selain itu, program deradikalisasi belum
masuk pada lingkungan pelajar dan mahasiswa, hanya sebatas napi terori di
penjara. Oleh karena itu, program deradikalisasi perlu digalalakkan di dunia
kampus dengan melibatkan mahasiswa. Partisipasi dan peran aktif mahasiswa sangat
penting dalam menyukseskan program deradikalisasi. Hal ini tidak terlepas dari
tugas dan peran mahasiswa sebagai agent
of control dan agent of change yang telah mampu memberikan banyak sejarah
dalam terciptanya revolusi di Indonesia. Selain itu, mahasiswa merupakan
generasi muda yang memiliki ide-ide cemerlang dalam mengatasi segala
ketimpangan-ketimpangan yang akan mengancam keutuhan negara Indonesia
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan di atas, maka penulis akan mencoba membahas tentang
urgensi mahasiswa dalam menyukseskan program radikalisme paham radikal. Tulisan
singkat ini akan coba menjelaskan tentang pentingnya mahasiswa untuk terlibat
dalam upaya pencegahan menyebarnya paham-paham radikal di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana
urgensi mahasiswa dalam menyukseskan program deradikalisasi paham radikal?
C.
Tujuan
Makalah
Tujuan makalah ini adalah untuk
mendeskripsikan urgensi mahasiswa dalam
menyukseskan program deradikalisasi paham radikal.
BAB II
PEMBAHASAN
“Urgensi Mahasiswa Dalam Menyukseskan Program
Deradikalisasi Paham Radikal”
Negara
indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar dengan munculnya kelompok
masyarakat dengan membawa paham radikal dalam kehidupan beragama. Berdasarkan hasil survei Setara Institute selama tahun 2016 mencatat ada 208 peristiwa kekerasan
terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang dibarengi 270 tindakan.
Angka tersebut meningkat bila dibandingkan pada tahun 2015, di mana tercatat
ada 197 peristiwa dan 236 tindakan. Hasil Survey Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP) Tahun 2011 dengan responden guru PAI dan siswa SMP Se-Jadebotabek
menunjukkan potensi radikal yang kuat di kalangan guru dan pelajar dengan
indikasi resistensi yg lemah terhadap kekerasan atas nama agama, intoleransi,
sikap ekslusif serta keraguan terhadap ideologi Pancasila.
Penyebab meningkatnya sikap intoleransi dan radikalime adalah
karena masuknya paham-paham baru dalam kehidupan beragama, khususnya Agama Islam. Perkembangan aliran dan faham keagamaan tak
jarang menimbulkan konflik antarsesama pemeluk agama yang sama maupun di antara pemeluk agama yang
berbeda. Paham radikalisme
jelas sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila
dan Kebhinekaan yang menjunjung tinggi toleransi dan kebebasan beragama. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E ayat
(1) menjelaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali. Selanjutnya, pasal 28E ayat (2) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan. Jadi, negara Indonesia sangat menghargai
kebebasan beragama dan menolak paham radikalisme.
Fenomena
paham radikal perlu diwaspadai mengingat radikalisme merupakan embrio lahirnya
terorisme yang mampu menghancurkan hidup dan kehidupan serta memporakporandakan
tatanan dan tuntunan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Menurut Asrudi
Azwar, munculnya ISIS di Tanah Air adalah akumulasi dari gerakan radikalisme
sebelumnya (Kompas, 31/3/2015). Radikalisme
merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat
revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis
lewat kekeraan (violence) dan
aksi-aksi yang ekstrem (syamsul Ma’arif, 2014). Ada beberapa ciri yang bisa
dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai
pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri;
menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam
umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan) ((BNPT, 2016).
Memang
tidak semua yang memiliki paham radikal terjerumus dalam jaringan terorisme.
Ada faktor lain yang memotivasi seseorang untuk bergabung dalam jaringan
terorisme. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal
kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor
internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya
dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar
negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor
kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan
penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman
yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan
seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme
(BNPT/2016). Jadi perlu adanya
langkah-langkah tepat dari pemerintah dalam mencegah menjamurnya paham radikal
di Indonesia.
Pada
era reformasi, demokratisasi, kebebasan dan perspektif HAM, pemerintah
menetapkan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
setelah tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali. Pada perkembangan
selanjutnya pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010
tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Salah satu
strategi pencegahan dari dari BNPT adalah
dengan menggalakan program deradikalisasi. Tujuan dari deradikalisasi adalah
agar kelompok inti, militant simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara
kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal
mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan
misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.
Namun,
program deradikalisasi yang selama ini dilaksanakan tidak menjamin napi
terorisme sadar dan jera. Ada yang semakin radikal, merekrut kelompok baru, dan
kambuh lagi setelah ke luar penjara. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan
ketika kembali kemasyarakat mereka akan menyebarkan paham-paham radikalisme
yang selanjutnya mendirikan kelompok-kelompok kecil yang menjalankan aksi
teror. Berdasarkan catatan BNPT tahun 2015, ada sekitar 600 orang mantan
narapidana terorisme yang telah bebas karena telah selesai menjalani hukuman
atau mendapat pembebasan bersyarat. Dari 600 mantan napi yang sudah bebas itu,
sekitar 15 persen atau 90 orang terdeteksi kembali terlibat aksi terorisme.
Sebanyak 28 orang telah ditembak mati (Tirto.id/2016). Untuk itu, BNPT tidak
boleh bergerak sendiri tapi harus melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki
pengaruh besar dalam merubah pemikiran masyarakat yaitu menjalin kerjasama
dengan pihak perguruan tinggi khususnya mahasiswa.
Partisipasi
mahasiswa dalam program deradikalisasi di masyarakat tentu sangat tepat. Adapun
alasan-alasanya adalah (1) mahasiswa merupakan kumpulan orang intelektual dan
berpikiran kritis sehingga kepercayaan masyarakat sangat tinggi pada mahasiswa
(2) Perguruan tinggi memiliki program-program pengabdian pada masyarakat sehingga
mereka sering berbaur dengan masyarakat dan mengetahui tingkat pemahaman dan
emosi masyarakat (3) Seluruh mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat dan
diakui memiliki pemikiran yang lebih dari mahasiswa sehingga mudah untuk
merubah ideologi dan pemahaman masyarakat. 4) Mahasiswa memiliki peran sebagai agen
perubahan (agen of change) dan kontrol
sosial (social control). Dengan peran
ini mereka mampu melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik demi
terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan
pancasila dan undang-undang NKRI.
Melibatkan
mahasiswa dalam program deradikalisasi bukanlah hal yang baru. Mahasiswa
merupakan generasi muda penerus bangsa yang memberikan perubahan-perubahan sosial
melalui ide-ide cemerlang mereka. Keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama
sejak awal abad ke-20, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah
kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam
masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan
perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara
sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain,
mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan
sosial politik di tanah air pada masanya.
Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas
gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah
perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum
besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi
sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun
1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan
penggulingan rezim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa
yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air (Albanik,2016).
Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda
dan mahasiswa .
Menenggok
sejarah di atas, melibatkan mahasiswa
dalam program deradikalisasi menjadi sangat penting. Mahasiswa memiliki
kegiatan-kegiatan sendiri yang bisa menjadi sarana dalam melakukan program
deradikalisasi. Program ini dapat dilakukan diskusi, talk sow, seminar, dan
pertemuan ilmiah, mengadakan dialog
dengan tokoh-tokoh agama, sosialisasi penolakkan paham radikalisme baik di
dalam kampus maupun di masyarakat baik. Langkah ini sangat tepat mengingat mahasiswa merupakan orang yang paling
berpengaruh dalam melakukan perubahan di masyarakat. Disamping itu, mahasiswa biasanya
memerankan diri sebagai golongan yang kritis sekaligus konstruktif terhadap
ketimpangan sosial dan kebijakan politik, ekonomi. Mahasiswa sangat tidak
toleran dengan penyimpangan apapun bentuknya dan nurani mereka yang masih
relatif bersih dengan sangat mudah tersentuh sesuatu yang seharusnya tidak
terjadi namun ternyata itu terjadi atau dilakukan oleh oknum atau kelompok
tertentu dalam masyarakat dan pemerintah.
Namun
dalam pelaksanaan program deradikalisasi tentu pasti ada kendala-kendala yang
akan dihadapi oleh pihak BNPT maupun
mahasiswa. Pertama, Perguruan tinggi
adalah lembaga strategis untuk mencetak kader-kader bangsa di masa depan.
Posisi inilah yang disadari betul oleh mereka kaum radikalis itu. Makanya,
rekruitmen yang besar-besaran dilakukan justru di kampus. Melalui rekruitmen
terhadap anak-anak mahasiswa yang pintar, maka mereka akan memperoleh keuntungan
ganda. Mereka akan memperoleh kader militan
dan sekaligus juga calon pemimpin di masa yang akan datang. Melihat
realitas empiris seperti ini, maka pantaslah jika gerakan deradikalisasi
tersebut justru diarahkan ke PT. Harus
disadari bahwa lembaga pendidikan tinggi merupakan institusi yang sangat
strategis ke depan terkait dengan kepemimpinan bangsa. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol
Suhardi Alius, menurutnya paham radikalisme sudah menyusup ke sejumlah perguruan
tinggi ternama di Indonesia. Ia pun meminta pengelola perguruan tinggi untuk
semakin meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa, terutama
organisasi kemahasiswaan yang bersifat eksklusif (CNN/3/09/16).
Kedua, minimnya anggaran
yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk program deradikalisasi. Hal tentu bisa
mengakibatkan kurang efisienya pelaksanaan program deradikalisasi. Menurut
Saud, Kepala BNPT mengatakkan bahwa karena keterbatasan anggaran itu maka
banyak kegiatan yang tak bisa terlaksana. Misalnya, pada tahun 2016 BNPT membutuhkan dana sekitar
Rp 330 miliar dalam setahun yang sudah mencakup pelatihan dan modal usaha kepada
para narapidana terorisme. Namun hanya mendapatkan dana sekitar Rp 310 miliar
selama tahun 2016 (Kompas/2016). Disamping itu, akibat kekurangan dana maka
BNPT akan kesulitan melibatkan pihak-pihak lain dalam program deradikalisasi
khususnya mahasiswa.
Ketiga, terbatasnya waktu
mahasiswa. Mahasiswa merupakan orang yang memiliki waktu kuliah yang padat tiap
semester. Jadi mereka memiliki waktu luang yang sangat sedikit. Jadi hanya pada
saat-saat tertentu mahasiswa bisa terlibat dalam pelaksanaan program
deradikalisasi.
Dari beberapa kendala tersebut baik
BNPT maupun mahasiswa tetap dituntut untuk mampu menggencarkan program
deradikalisasi. Jika tidak dilaksanakan maka paham-paham radikalisme akan
dengan mudah masuk ke masyarakat sehingga konflik akan terjadi dimana-mana.
Selain itu, jaringan teroris akan dengan mudah melancarkan aksinya dimana-mana.
Untuk mewujudkan pelaksanaan program deradikalisasi yang efektif maka perlu
adanya langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melaksanakan
program deradikalisasi di kampus dengan menghadirkan para tokoh-tokoh agama
untuk melakukan debat dengan mahasiswa yang memiliki paham radikalisme. Seperti
yang pernah dilakukan oleh BNPT pada akhir 2013, ketika BNPT mendatangkan ulama
asal Yordania, Syekh Ali Hasan Al-Halabi untuk berdebat dengan 40 napi terorisme
di Lapas Nusakambangan (Tirto.id). Hal ini untuk mendegradasi paham-paham
radikalisme yang ada di lingkungan kampus. Selain itu, perlu adanya peningkatan
pemahaman pada tenaga pendidik dan
Mahasiswa akan bahaya radikalisme untuk menangkal
perkembang-biakannya.
2. Pemerintah
harus menyediakan anggaran yang memadai sesuai dengan permintaan pihak BNPT.
3.
Harus ada Standard Operational Procedure (SOP) sehingga pelaksanaan program
deradikalisasi berdasarkan SOP. SOP ini disusun oleh BNPT dengan melibatkan
mahasiswa yang disesuaikan dengan anggaran yang ada.
4.
Harus
ada dasar hukum untuk menindak tegas oknum-oknum yang memiliki paham-paham
radikal.
5.
BNPT
menjalin kerjasama dengan Pihak perguruan tinggi untuk menyisipkan program
deradikalisasi dalam setiap kurikulum.
Pada dasarnya eksistensi mahasiswa
sangat diharapkan dalam merubah ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat.
Hal ini tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai
pengontrol masyarakat (social control)
dan pemberi perubahan (agent of change)
yang akan terus menjunjung tinggi keterbukaan dan transparansi (Suliadi, 2016).
Paham radikalisme menjadi ancaman besar bagi retaknya persatuan dan kesatuan
negara Indonesia. Oleh karena itu mahasiswa diharapkan terlibat dan bekerjasama
dengan pemerintah dan tokoh-tokoh agama dalam mendegradasi menyebarnya
paham-paham radikal di Indonesia. Diharapkan mahasiswa bisa menjalankan
perannya dengan baik dan optimal dimasa sekarang maupun yang akan datang.
Karena mahasiswa adalah warisan dan aset besar negara di masa depan yang
memiliki hak-hak dalam kebebasan berfikir, berekspresi, dan mendapatkan
pengetahuan yang baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama ini pemerintah telah melakukan program
deradikalisasi melalui Badan nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), namun
belum efektif. Untuk itu, BNPT tidak boleh bergerak sendiri tapi harus
melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki pengaruh besar dalam merubah
pemikiran masyarakat yaitu menjalin kerjasama dengan pihak perguruan tinggi
khususnya mahasiswa. Partisipasi mahasiswa dalam program deradikalisasi tentu
sangat tepat. Adapun alasan-alasanya adalah (1) mahasiswa merupakan kumpulan
orang intelektual dan berpikiran kritis sehingga kepercayaan masyarakat sangat
tinggi pada mahasiswa (2) Perguruan tinggi memiliki program-program pengabdian
pada masyarakat sehingga mereka sering berbaur dengan masyarakat dan mengetahui
tingkat pemahaman dan emosi masyarakat (3) Seluruh mahasiswa merupakan bagian
dari masyarakat dan diakui memiliki pemikiran yang lebih dari mahasiswa
sehingga mudah untuk merubah ideologi dan pemahaman masyarakat, 4) Mahasiswa
memiliki peran sebagai agen perubahan (agen of change) dan kontrol sosial (social control)
Paham
radikalisme menjadi ancaman besar bagi retaknya persatuan dan kesatuan negara
Indonesia. Oleh karena itu mahasiswa diharapkan terlibat dan bekerjasama dengan
pemerintah dan tokoh-tokoh agama dalam mendegradasi menyebarnya paham-paham
radikal di Indonesia. Diharapkan mahasiswa bisa menjalankan perannya dengan
baik dan optimal dimasa sekarang maupun yang akan datang. Karena mahasiswa
adalah warisan dan aset besar negara di masa depan.
B. Saran
Makalah
ini masih kebanyakan bersifat penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan beberapa literatur karena
waktu penyusunan yang terbatas. Diperlukan
kajian yang lebih komprehensif dan mendalam yang lebih intensif untuk menemukan
fakta-fakta yang lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Albanik, H. H. Psikologi
Kepemimpinan Dalam Gerakan Mahasiswa Kampus 1970-an Sebagai Gerakan Koreksi Dan
Nurani Bangsa. Abstrak.2016
BNPT. Strategi menghadapi paham radikalisme terorisme http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/Strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf diunduh Tanggal 19/07/2017
Bubalo, A., & Fealy, G. (2007). Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur
Tengah di Indonesia. Mizan Pustaka.
http://dokumen.tips/documents/agama-dan-konflik.html diunduh Tanggal 19/07/2017
https://tirto.id/tumpulnya-bnpt-melempemnya-deradikalisasi-kr diunduh Tanggal 19/07/2017
http://www.benarnews.org/indonesian/berita/deradikalisasi-lemah-atasi-teror-05122015203451.html diunduh Tanggal 19/07/2017
Kompas Nasional Tanggal 02 Februari 2016. BNPT Keluhkan Kekurangan Dana untuk
Deradikalisasi http://nasional.kompas.com/read/2016/02/
02/20122161/BNPT. Keluhkan.Kekurangan.Dana.untuk.Deradikalisasi diunduh Tanggal 19/07/2017
Kompas Nasional Tanggal 31 Mei
2015. Paham Radikalisme di Indonesia
Dinilai Berkembang di Masa Pemerintahan SBY. http://nasional.kompas.com/read/2015/03/31/17190411/paham.Radikalisme.di.Indonesia.Dinilai.Berkembang.di.Masa.Pemerintahan.SBY
diunduh Tanggal 21/07/2017
Liliweri, A. (2005). Prasangka & konflik: komunikasi lintas budaya masyarakat
multikultur. PT LKiS Pelangi Aksara.
Ma’arif, Syamsul. Ideologi Pesantren Salaf:
Deradikalisasi Agama. Jurnal Ibda’ Kebudayaan Islam Vol. 12.
No. 2. Juli - Desember 2014
Maulani, A. (2012).
Tranformasi Learning dalam Pendidikan Multikultural Keberagaman. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan
Aplikasi, 1(1).
Mulyana, Deddy &
Jalaluddin, Rakhmat. Komunikasi
antarbudaya. Remaja Rosdakarya. 1990
Syafi'as, A. (2017). Radikalisme
Agama (Analisis Kritis dan Upaya Pencegahannya Melalui Basis Keluarga
Sakinah). Sumbula: Jurnal Studi
Keagamaan, Sosial dan Budaya, 2(1), 352-376.
Suliadi, S. (2016). Resistensi
Mahasiswa terhadap Kebijakan Kampus di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jurnal Sosiologi Reflektif, 8(2).
No comments:
Post a Comment